Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Yang Tersembunyi dari Surya Paloh

Written By GOJEK #GolekRejeki on Senin, 28 Januari 2013 | 08.16

Bagi sementara kalangan keputusan Surya Paloh menjadi Ketua Umum Partai Nasdem, merupakan langkah yang tidak bijaksana. Surya dinilai bersikap inkonsisten dan berjiwa tidak demokratis. Padahal sikap konsisten dan gaya demokrat itulah yang selalu dijual Surya melalui orasi-orasinya.

Rasa percaya pada Surya Paloh membesar, setelah ia memberi mandat kepada Rio Patrice Capella, seorang aktifis berusia muda, sebagai Ketua Umum. Aktifis-aktifis yang berusia muda pun banyak tertarik dan bergabung dengan Nasdem.
Tapi belakangan Surya (61 tahun) justru mau menggunakan sendiri panggung yang diimpikan anak muda. Mandat kepada Capella, simbol generasi muda, dimintanya kembali. Sejak itu Surya dianggap para penentangnya mengingkari janjinya sendiri. Pengingkaran itulah yang dijadikan alasan pengunduran diri oleh sejumlah anggota.
Sebagai orang yang pernah menjadi salah seorang stafnya selama 13 tahun (1986-1999) dan sebelum itu sudah mengenalnya melalui persahabatan selama kurang lebih 8 tahun, saya bisa memahami langkah Surya Paloh yang mendadak berubah.

Surya berubah, karena tidak mudah bagi dia untuk percaya bahwa visi kebangsaannya yang pluralis, sudah benar-benar dimengerti apalagi dihayati oleh generasi yang lebih muda dari dia.
Surya juga khawatir, kalau akhirnya dia dikhianati oleh orang yang dia percaya. Sehingga misi restorasi Partai Nasdem pada akhirnya menjadi tidak jelas. Pasalnya, selama kurang lebih 40 tahun berkarir di politik, bukan sekali dua kali Surya dikhianati oleh orang yang dia anggap satu visi dengannya.
Oleh sebab itu sebagai pendatang baru dalam Pemilu Legislatif, Surya tidak ingin membuat langkah keliru. Peluang Nasdem menjadi pemenang, terbuka. Tapi kalau hanya mengandalkan kampanye iklan gratis, tidak ada yang bisa menjamin kemenangan.

Surya tetap berhitung tentang kekuatan Golkar. Sebab partai yang dipimpin Aburizal Bakrie - pengusaha kaya ini, juga memiki TVOne, media yang dikenal sangat cerdik mengemas berita politik.
Surya juga berhitung tentang kekuatan Golkar tempat dimana dia menghabiskan waktu selama emat dekade. Jaringan Golkar yang sudah terbentuk sampai ke tingkat pedesaan, sebuah kekuatan yang sangat dipahami oleh Surya Paloh. Sementara, kalkulasi serupa belum tentu dimiliki oleh pengurus lainnya, termasuk yang berlabel pakar!

Unsur lain yang dihitung Surya Paloh, kekuatan Partai Demokrat. Surya percaya, partai ini memiliki amunisi yang besar untuk segala kebutuhan. Tentu Surya juga berhitung partai-partai lainnya.
Tetapi satu hal yang tidak bisa diingkari, di usianya yang sudah tergolong tua, Surya tidak pernah mendapat peluang untuk mengaktualisasikan visi politik dan wawasan kebangsaannya secara utuh. Gerakannya selalu terganjal karena posisinya bukan penentu sentral.

Sehingga keputusannya merebut jabatan Ketua Umum Partai Nasdem, patut dilihat sebagai refleksi dari latar belakang di atas. Bukan sekali dua kali dia dijegal. manakala ia ingin menjadi seorang tokoh. Dan yang dia rasakan penjegalan itu terjadi karena visi dan wawasan kebangsaannya, dianggap berbahaya bagi eksistensi para elit yang berkuasa.

Dari pidato dan pernyataan-pernyataan spontannya, Surya Paloh sebetulnya seorang Soekarnois. Ironisnya selama ia berkiprah, partai yang dijadikannya moda perjuangan, merupakan kekuatan politik non-Soekarnois atau yang melakukan de-Soekarnoisasi. Sehingga visi Surya tidak kompatibel di Golkar.
Di era Orde Baru yang hanya mengizinkan tiga partai untuk eksis: PPP, Golkar dan PDI, Surya Paloh tidak punya pilihan lain, kecuali ke Golkar. Dia tidak bisa memilih PPP, karena ibarat baju, ukurannya tidak sesuai dengan posturnya. PPP sebagai partai Islam, dia anggap sektarian sementara Surya seperti halnya Soekarno merupakan seorang nasionalis-pluralis.

Bahkan ketika PPP dipimpin oleh Ismael Hasan Metareum, putera asal Aceh seperti Surya, ia tetap tidak tertarik bergabung. Sementara PDI oleh Surya dilihat sebagai partai nasionalis yang dibonsai oleh rezim Orde Baru. Di atas kertas, PDI menampung sejumlah Soekarnois. Tapi kebijakan itu hanya sebuah aksesoris demokrasi.
Saat Sidang Umum MPR-RI 1988 digelar di Senayan, Surya menemui Ketua Umum PDI, Soerjadi di Hotel Kartika Chandra, Jl.Gatot Subroto, Jakarta. Di tempat konsinyering seluruh wakil rakyat yang akan memilih Presiden RI, Surya mendorong Soerjadi agar PDI berani mengajukan calon Presiden alternatif. Jangan Soeharto lagi.

Lagi pula ketika itu, Ketua Umum PPP, John Naro SH sudah menyatakan akan mencalonkan diri. Jadi Soerjadi tidak sendirian. Namun PDI ketika itu sebetulnya merupakan "fraksi Golkar" yang disembunyikan.
Ke-golkar-an PDI tercermin dari hadirnya Sekjen, Nico Darjanto. Tokoh Katolik ini disuplai oleh CSIS - lembaga yang nota bene merupakan dapur politik Golkar. Lembaga pengkajian yang didirikan Jenderal Ali Murtopo ini dikenal sebagai "think tank" Orde Baru, rezim yang menumbangkan Soekarno. CSIS sendiri, secara de facto dipimpin Liem Bian Kie dan Liem Bian Koen atau yang lebih dikenal Wanandi Bersaudara.
Lalu Jusuf dan Sofyan Wanandi (Wanandi Brothers) bersama Soerjadi merupakan eksponen 66 yang meruntuhkan kekuasaan Soekarno.

Ketika di awal 1986, Soerjadi dijadikan Ketua Umum PDI oleh Mendagri Supardjo Rustam, Soerjadi sedang menduduki posisi Presiden Direktur PT Aica Aibon. Perusahaan lem perekat yang berkantor di Wisma Nusantara ini, saham mayoritasnya dimiliki keluarga Wanandi tadi.
Surya Paloh baru ngeh belakangan tentang percaturan politik dan bisnis seperti itu, satu hal yang merupakan pengalaman paling berharga. Tumbangnya kekuasaan Golkar bersamaan dengan jatuhnya rezim Orde Baru, merupakan kesempatan baru bagi Surya.
Itulah yang mendorong Surya ikut bersaing dalam konvensi Partai Golkar yang digelar 2004. Tapi di konvensi yang menyaring calon presiden itu, Surya Paloh hanya menduduki tempat keempat di antara lima kandidat.

Ketika SBY akhirnya terpilih sebagai Presiden periode 2004-2009, Surya merapat ke SBY. Surya melihat SBY sebagai sosok yang bisa memperbaiki Indonesia. Tak perduli apapun partainya.
Menjelang Munas Golkar di Bali, Surya mendeklarasikan pencalonanya untuk posisi Ketua Umum DPP Partai Golkar. Surya sebelumnya dikabarkan meminta dukungan dari SBY. Hingga dua atau tiga hari menjelang Munas, nama Surya masih sangat kuat. Terutama karena kabar dukungan SBY tersebut.
Sejarah politik Surya Paloh berubah seketika sewaktu Jusuf Kalla mengumumkan pencalonannya untuk posisi yang sama. Jusuf Kalla yang sudah menduduki posisi Wapres, juga mengklaim bahwa pencalonannya atas restu Presiden SBY.

Bagi Surya pencalonan Jusuf Kalla yang juga direstui SBY, sama dengan "penghianatan" Presiden SBY terhadap dirinya. Surya akhirnya memilih mundur, lalu mendukung Jusuf Kalla. Selama 5 tahun kepemimpinan Jusuf Kalla di Golkar, Surya terus mempersiapkan diri.
Tapi di Munas Golkar Riau, November 2009, Surya dikalahkan oleh Aburizal Bakrie. Yang menyakitkan Surya Paloh, bukan soal kekalahan dari Ical. Tetapi soal keberpihakan Presiden SBY.
Konon SBY menginstruksikan semua jajaran untuk menjadikan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum. Sehingga bagi Surya, dalam lima tahun dia sudah dua kali "dikhianati" oleh seorang Presiden, seorang pemimpin bangsa.

Menghadapi Pemilu 2014, Surya menjadi orang yang tidak bisa percaya begitu saja kepada setiap sahabat. Wajar kalau Surya maju sebagai orang yang paling menentukan di Partai Nasdem.

(opini Derek Manangka di www.inilah.com)

0 komentar:

Posting Komentar