Bagi sementara kalangan keputusan Surya Paloh menjadi Ketua
Umum Partai Nasdem, merupakan langkah yang tidak bijaksana. Surya
dinilai bersikap inkonsisten dan berjiwa tidak demokratis. Padahal sikap
konsisten dan gaya demokrat itulah yang selalu dijual Surya melalui
orasi-orasinya.
Rasa percaya pada Surya Paloh membesar,
setelah ia memberi mandat kepada Rio Patrice Capella, seorang aktifis
berusia muda, sebagai Ketua Umum. Aktifis-aktifis yang berusia muda pun
banyak tertarik dan bergabung dengan Nasdem.
Tapi belakangan Surya
(61 tahun) justru mau menggunakan sendiri panggung yang diimpikan anak
muda. Mandat kepada Capella, simbol generasi muda, dimintanya kembali.
Sejak itu Surya dianggap para penentangnya mengingkari janjinya sendiri.
Pengingkaran itulah yang dijadikan alasan pengunduran diri oleh
sejumlah anggota.
Sebagai orang yang pernah menjadi salah seorang
stafnya selama 13 tahun (1986-1999) dan sebelum itu sudah mengenalnya
melalui persahabatan selama kurang lebih 8 tahun, saya bisa memahami
langkah Surya Paloh yang mendadak berubah.
Surya berubah, karena
tidak mudah bagi dia untuk percaya bahwa visi kebangsaannya yang
pluralis, sudah benar-benar dimengerti apalagi dihayati oleh generasi
yang lebih muda dari dia.
Surya juga khawatir, kalau akhirnya dia
dikhianati oleh orang yang dia percaya. Sehingga misi restorasi Partai
Nasdem pada akhirnya menjadi tidak jelas. Pasalnya, selama kurang lebih
40 tahun berkarir di politik, bukan sekali dua kali Surya dikhianati
oleh orang yang dia anggap satu visi dengannya.
Oleh sebab itu
sebagai pendatang baru dalam Pemilu Legislatif, Surya tidak ingin
membuat langkah keliru. Peluang Nasdem menjadi pemenang, terbuka. Tapi
kalau hanya mengandalkan kampanye iklan gratis, tidak ada yang bisa
menjamin kemenangan.
Surya tetap berhitung tentang kekuatan
Golkar. Sebab partai yang dipimpin Aburizal Bakrie - pengusaha kaya ini,
juga memiki TVOne, media yang dikenal sangat cerdik mengemas berita
politik.
Surya juga berhitung tentang kekuatan Golkar tempat
dimana dia menghabiskan waktu selama emat dekade. Jaringan Golkar yang
sudah terbentuk sampai ke tingkat pedesaan, sebuah kekuatan yang sangat
dipahami oleh Surya Paloh. Sementara, kalkulasi serupa belum tentu
dimiliki oleh pengurus lainnya, termasuk yang berlabel pakar!
Unsur
lain yang dihitung Surya Paloh, kekuatan Partai Demokrat. Surya
percaya, partai ini memiliki amunisi yang besar untuk segala kebutuhan.
Tentu Surya juga berhitung partai-partai lainnya.
Tetapi satu hal
yang tidak bisa diingkari, di usianya yang sudah tergolong tua, Surya
tidak pernah mendapat peluang untuk mengaktualisasikan visi politik dan
wawasan kebangsaannya secara utuh. Gerakannya selalu terganjal karena
posisinya bukan penentu sentral.
Sehingga keputusannya merebut
jabatan Ketua Umum Partai Nasdem, patut dilihat sebagai refleksi dari
latar belakang di atas. Bukan sekali dua kali dia dijegal. manakala ia
ingin menjadi seorang tokoh. Dan yang dia rasakan penjegalan itu terjadi
karena visi dan wawasan kebangsaannya, dianggap berbahaya bagi
eksistensi para elit yang berkuasa.
Dari pidato dan
pernyataan-pernyataan spontannya, Surya Paloh sebetulnya seorang
Soekarnois. Ironisnya selama ia berkiprah, partai yang dijadikannya moda
perjuangan, merupakan kekuatan politik non-Soekarnois atau yang
melakukan de-Soekarnoisasi. Sehingga visi Surya tidak kompatibel di
Golkar.
Di era Orde Baru yang hanya mengizinkan tiga partai untuk
eksis: PPP, Golkar dan PDI, Surya Paloh tidak punya pilihan lain,
kecuali ke Golkar. Dia tidak bisa memilih PPP, karena ibarat baju,
ukurannya tidak sesuai dengan posturnya. PPP sebagai partai Islam, dia
anggap sektarian sementara Surya seperti halnya Soekarno merupakan
seorang nasionalis-pluralis.
Bahkan ketika PPP dipimpin oleh
Ismael Hasan Metareum, putera asal Aceh seperti Surya, ia tetap tidak
tertarik bergabung. Sementara PDI oleh Surya dilihat sebagai partai
nasionalis yang dibonsai oleh rezim Orde Baru. Di atas kertas, PDI
menampung sejumlah Soekarnois. Tapi kebijakan itu hanya sebuah aksesoris
demokrasi.
Saat Sidang Umum MPR-RI 1988 digelar di Senayan, Surya
menemui Ketua Umum PDI, Soerjadi di Hotel Kartika Chandra, Jl.Gatot
Subroto, Jakarta. Di tempat konsinyering seluruh wakil rakyat yang akan
memilih Presiden RI, Surya mendorong Soerjadi agar PDI berani mengajukan
calon Presiden alternatif. Jangan Soeharto lagi.
Lagi pula ketika
itu, Ketua Umum PPP, John Naro SH sudah menyatakan akan mencalonkan
diri. Jadi Soerjadi tidak sendirian. Namun PDI ketika itu sebetulnya
merupakan "fraksi Golkar" yang disembunyikan.
Ke-golkar-an PDI
tercermin dari hadirnya Sekjen, Nico Darjanto. Tokoh Katolik ini
disuplai oleh CSIS - lembaga yang nota bene merupakan dapur politik
Golkar. Lembaga pengkajian yang didirikan Jenderal Ali Murtopo ini
dikenal sebagai "think tank" Orde Baru, rezim yang menumbangkan
Soekarno. CSIS sendiri, secara de facto dipimpin Liem Bian Kie dan Liem
Bian Koen atau yang lebih dikenal Wanandi Bersaudara.
Lalu Jusuf dan Sofyan Wanandi (Wanandi Brothers) bersama Soerjadi merupakan eksponen 66 yang meruntuhkan kekuasaan Soekarno.
Ketika
di awal 1986, Soerjadi dijadikan Ketua Umum PDI oleh Mendagri Supardjo
Rustam, Soerjadi sedang menduduki posisi Presiden Direktur PT Aica
Aibon. Perusahaan lem perekat yang berkantor di Wisma Nusantara ini,
saham mayoritasnya dimiliki keluarga Wanandi tadi.
Surya Paloh baru ngeh
belakangan tentang percaturan politik dan bisnis seperti itu, satu hal
yang merupakan pengalaman paling berharga. Tumbangnya kekuasaan Golkar
bersamaan dengan jatuhnya rezim Orde Baru, merupakan kesempatan baru
bagi Surya.
Itulah yang mendorong Surya ikut bersaing dalam
konvensi Partai Golkar yang digelar 2004. Tapi di konvensi yang
menyaring calon presiden itu, Surya Paloh hanya menduduki tempat keempat
di antara lima kandidat.
Ketika SBY akhirnya terpilih sebagai
Presiden periode 2004-2009, Surya merapat ke SBY. Surya melihat SBY
sebagai sosok yang bisa memperbaiki Indonesia. Tak perduli apapun
partainya.
Menjelang Munas Golkar di Bali, Surya mendeklarasikan
pencalonanya untuk posisi Ketua Umum DPP Partai Golkar. Surya sebelumnya
dikabarkan meminta dukungan dari SBY. Hingga dua atau tiga hari
menjelang Munas, nama Surya masih sangat kuat. Terutama karena kabar
dukungan SBY tersebut.
Sejarah politik Surya Paloh berubah
seketika sewaktu Jusuf Kalla mengumumkan pencalonannya untuk posisi yang
sama. Jusuf Kalla yang sudah menduduki posisi Wapres, juga mengklaim
bahwa pencalonannya atas restu Presiden SBY.
Bagi Surya pencalonan
Jusuf Kalla yang juga direstui SBY, sama dengan "penghianatan" Presiden
SBY terhadap dirinya. Surya akhirnya memilih mundur, lalu mendukung
Jusuf Kalla. Selama 5 tahun kepemimpinan Jusuf Kalla di Golkar, Surya
terus mempersiapkan diri.
Tapi di Munas Golkar Riau, November
2009, Surya dikalahkan oleh Aburizal Bakrie. Yang menyakitkan Surya
Paloh, bukan soal kekalahan dari Ical. Tetapi soal keberpihakan Presiden
SBY.
Konon SBY menginstruksikan semua jajaran untuk menjadikan
Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum. Sehingga bagi Surya, dalam lima
tahun dia sudah dua kali "dikhianati" oleh seorang Presiden, seorang
pemimpin bangsa.
Menghadapi Pemilu 2014, Surya menjadi orang yang
tidak bisa percaya begitu saja kepada setiap sahabat. Wajar kalau Surya
maju sebagai orang yang paling menentukan di Partai Nasdem.
(opini Derek Manangka di www.inilah.com)
0 komentar:
Posting Komentar