SALIM (50) , sosok yang luar biasa. Sebagai calon petahana
(incumbent) dalam pilihan kepala desa di Sumberejo Kecamatan Pabelan
Kabupaten Semarang, ia kembali mengalahkan kotak kosong dengan meraih
suara 2.941, adapun kotak kosong 102, rusak 99, dengan daftar pemilih
tetap (DPT) 3.413.
Itu kebalikan dari Tahanta, calon petahana
justru dikalahkan oleh kotak kosong yang meraih 1.240, Tahanta 889,
rusak 42, dari DPT 2.986, yang datang memilih 2.171. Meskipun pemilihan
sudah diulang sampai kali keempat, tetap saja yang menang kotak kosong.
Yang terakhir itu terjadi di Desa Dlingo Kecamatan Mojosongo Boyolali.
Dua
peristiwa itu memberi pesan kepada kita tentang arti pentingnya figur
calon di mata para pemilih. Terutama sejalan dengan sistem pemilu
langsung yang sudah terlaksana sekali di Tanah Air. Terlebih lagi
tentang calon untuk lembaga legislatif. Di Senayan ataupun provinsi dan
kabupaten/ kota, lembaga itu selalu ingar-bingar. Diharubirukan oleh
kasus korupsi yang berkesan memunculkan sosok-sosok yang makin berani,
kalau tak nekat ya serakah, serta terlibat kian banyak.
Bahwa
korupsi di sektor eksekutif juga dalam kondisi serupa, sudah bukan
rahasia lagi. Namun legislatif disorot tajam karena lembaga itu
seharusnya justru mengawasi kerja eksekutif. Khususnya dalam penggunaan
anggaran lewat hak budget. Tentu bisa dibayangkan akibat buruknya
terhadap kehidupan bangsa dan negara ini ketika yang bertugas mengawasi
malah gudang koruptor. BBM, daging sapi, dan bawang putih jadi mainan
yang bikin hidup rakyat kecil di negeri ini tetap kembang-kempis.
Angka Golput
Tak
pelak lagi kalau angka golput pun makin meningkat. Dalam pilgub di
Jateng angka itu sekitar 42 persen. Angka serupa terjadi di Jabar, DKI
Jakarta, dan Sumatera Utara. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia
(LSI), masyarakat tak memercayai politikus tidak mengejutkan lagi.
Survei itu dilakukan di 33 provinsi yang melibatkan 1.200 responden pada
3-5 Juli 2013. Hasilnya adalah 51,5% responden tak percaya komitmen
moralitas politik para politikus, dan hanya 37,5% yang masih percaya.
Menurut
LSI ada tiga penyebab menurunnya kepercayaan tersebut. Yaitu publik
menilai tidak banyak politikus yang bisa dijadikan teladan bagi
masyarakat; kuatnya persepsi publik bahwa banyak politikus hipokrit;
publik melihat semakin lebar jarak antara keyakinan serta ajaran agama
dan perilaku politikus.
Politikus, parpol, serta calon gubernur
dan calon bupati bisa tak peduli tentang angka golput yang terus
merambat naik. Pasalnya berapa pun suara yang mereka peroleh, asal lebih
unggul dibandingkan dengan pesaing, kursi empuk pasti diraih. Tak
peduli seberapa pun besar kadar keunggulan itu. Contoh pemenang
pemilihan gubernur Bali beberapa waktu lalu, selisih 1.000 suara saja
tak genap.
Dalam hal hak pilih, banyak ulama menekankan pentingnya
rakyat berperan serta memilih pemimpin sebagai bagian dari tanggung
jawab dalam berbangsa dan bernegara. Ulama lain ada pula yang
berpendapat tak ikut memilih pun merupakan tanggung jawab besar, ketika
yang terpilih koruptor. Padahal sejak reformasi, rakyat di negeri ini
bagai terus dihujani pemilu.
Di Temanggung, setelah memilih
cagub-cawagub, rakyat sibuk memilih cabup-cawabup, kemudian pada lebih
dari 20 desa memilih kepala desa. Di Banyumas pemilihan cabup-cawabup
dulu, lalu memilih cagub-cawagub, kemudian di puluhan desa memilih
lurah. Itu terjadi di seluruh Tanah Air. Di ratusan kabupaten/ kota dan
ribuan desa. Berapa triliun rupiah habis untuk keperluan itu?
Muncul
gagasan pemilu disederhanakan. Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota
dilakukan serentak dengan pemilihan presiden. Sebagai aparat pusat,
gubernur diangkat dan legislatifnya dihapus. Selain sederhana juga
menghemat biaya.
Itulah fenomena di negeri tercinta ini. Ribut
berpolitik melulu. Selagi kian tertinggal dari negeri tetangga pada
bidang ekonomi, elite kita malah terus saling sodok dalam konflik
berkelanjutan. Bangsa ini seolah-olah terjebak dalam labirin reformasi.
Rakyat yang akan memilih pemimpinnya lagi pada tahun depan, cuma bisa
berharap elite politik bangsa ini, khususnya politikus muda, sadar dan
membawa Pemilu 2014 ke jalan reformasi yang benar, yang dulu
dicanangkan. (10)
— Sutrisna, wartawan senior Suara Merdeka
(Sumber: Suara Merdeka )
23.49 | 2
komentar